Kamis, 13 Desember 2007

Kuatrin Sebulan Lalu

telah kupenuhi sebuah janji membuatkan kuatrin
tepatnya empat kuatrin tentang api
dari rokok yang selalu meminta bibirmu
agar melengkapi hidupnya

entah kalimat apa diucapkannya
hingga kau pula sedia seperti
tanggal-tanggal dalam kalender
yang membakar bulan perlahan

hari ini janjiku padamu belumlah lengkap
mungkin tak akan pernah lengkap
terus bertambah seperti beberapa kepergian
yang membakar mataku sebulan ini

kepergiannya yang selalu meminta mataku
untuk melengkapi perjalanan itu
seperti api dari rokok, yang selalu meminta
agar asapnya melengkapi matimu

Makassar, Desember 2007

Kamis, 08 November 2007

Sajak Seperti Biasa

kemarin, menjelang sore
hujan menyapaku di depan rumah

dia melangkah seperti
anak tetanggaku yang nakal

melangkah,
sambil menendang setiap batu di jalan

tak perduli bila batu itu berhambur
atau mengenai wajah seseorang

dan kini salah satu batu
mengenai wajah petir
yang tertidur tak jauh

seperti biasa, hujan tak perduli
seperti biasa pula
petir seketika marah padaku
memaki tanpa bertanya sebelumnya

lalu saat cacinya tlah reda
dia kembali tidur
tanpa meminta maaf terlebih dulu
meninggalkan aku yang masih menutup mata
serta mengatup mata

hujan mendekat,
dan berkata seperti biasa:

"aku ingin semua orang
tau tentangku, agar
ditulisnya aku, dikenangnya
aku, semuanya tentangku
di bulan november"

kubalas semampuku
"mengapa selalu kau
membangunkan petir
saat kekasihku jauh?"

dan hujan seperti biasa
tak pernah menjawab

lalu berlalu begitu saja
saat mendengarku bicara:

"tak perlu menendang batu
membangunkan petir
agar semua orang tau
bahwa kau telah datang"

"tak perlu membuatku
menutup telinga serta mengatup mata terlalu lama,
dan membuatku merindu kekasihku sangat"

"cukup datang saja,
dan kau akan liat
betapa banyak sajak meminjam namamu"

Makassar, November 2007

Selasa, 06 November 2007

Percakapan Sunyi

Suatu siang di awal perkuliahan
Di anak tangga paling tinggi
dari tumpukan anak tangga
yang bersandar pada gedung kampusku

Di situ kupilih merebahkan kaki
sambil mengamati selembar foto

Sesekali aku berbicara dengan kau
yang berada di dalam foto
Sesekali pula dia berbicara padaku
Namun tak dapat kupahami
satupun kalimatnya

Setiap suara yang keluar
melewati bibirnya
Langsung bercampur suara-suara
di sekelilingku

Entah apa dia juga memahami
kata-kataku
Sebab pada foto
Juga tampak kau bercampur sunyi

Makassar, November 2007

Rabu, 24 Oktober 2007

Sajak Bermain
:kepada seorang buruh pasir

Bila kau tanyakan satu kisahku
Maka dengarlah ini

Sebelum sahut-menyahut ayam
Mengusir malam
dan mempersilahkan matahari
Bermain seharian di langit

Telah lebih dulu aku juga mereka
Menyusuri hutan
Menuju sebuah sungai di tengahnya
Namun bukan untuk bermain, Kawan

Yang mengalir padanya bukan hanya
Sumber kehidupan ikan atau akar hutan

Di sepanjang kelok perutnya
Menyimpan bertahun kehidupan
kami kemudian

"dua keranjang pasir
setiap hari"

Keranjang itupun kami buat
dari lengan hutan

Karena itu pula telah beberapa kali
Hutan dan sungai marah pada kami

Mereka memanggil hujan
lalu mengajak bermain
Agar dua keranjang pasir
lupa terbawa oleh kami

Telah kuceritakan padamu, Kawan
Satu kisah itu yang dimulai
Sejak harga barang di negeriku
Bermain-main dengan perut
dan otak keluarga kami

Namun bila engkau tanyakan padaku
Kapan aku bisa bermain di sungai itu
Kuyakini tiada dapat mengatakan padamu

Makassar, 0ktober 2007

Sabtu, 20 Oktober 2007

Satu sebab

Sebab kau ambil isi kepalaku
saat itu

Di suatu siang
yang kurasa paling panas
dalam bulan Oktober tahun ini

Saat puasa mengalih perhatian
dari kepalaku

Kau datang mengambilnya
diam-diam
Mengganti isinya dengan replikamu

Sehingga bila siang telah pergi
dan aku sadar kembali

Mataku hanya mengenali
tempat yang pernah kau tuju
Sementara kakiku hanya mengingat
jalan menuju rumahmu

Sebab itu pula!

Sepanjang jalan menuju rumahmu
tak henti ku ditertawai awan
percikan ludahnya
serupa bulir hujan
terkadang serupa embun
yang sekian waktu, lama tertahan

Sebab kau ambil
isi kepalaku

Jariku tak sepenuhnya mencinta puisi
Terkadang jariku pun membenci

Sebab semua yang kau ingin dulu
telah terjadi padaku

Maka kumohon

Kembalikan isi kepalaku!

Makassar, Oktober 2007

Minggu, 30 September 2007

Siasat Malam

Bila malam melintas di hadapanku
Tanpa menitip kabar tentangmu

Segera kuteliti kotak pos
di halaman rumah
Siapa tau, malam sedang bercanda
Menyelipkan kabar di kotak pos

Malam sungguh senang
Melihat raut wajahku tegang
Katanya seraya kegirangan :
"Teliti saja ponselmu,
siapa tau terselip kabar
kekasihmu di situ!"

Dan malam benar-benar senang
Bila tak kudapati kabar tentangmu
Katanya terang-terangan:
"Gunakan aku,
lalu teliti mimpimu
Sesungguhnya,
Kabar kekasihmu bertumpuk di situ!"

Makassar, 30 September 2007
Ebnuandie III

Memang terjadi belum lama ini
Atau ?
Mungkin pula telah lama terjadi

Urat nadiku dialiri risau
Membanjiri darahku seluruh
Terus mengalir sepanjang mau
Dan hanya kau yang tau
Cara mengatur juga membuatnya menuju
Satu-satunya laut di bawah kulitku
Menunggunya menguap
Hingga keluar dari pori serupa keluh

Memang terasa belum lama
Atau ?
Mungkin pula telah lama terasa

Saat malam tiba
Dan aku terlelap tiba-tiba

Pagi kudapati selimut mengatupku
Juga suara kecupmu tertinggal di keningku
Dan seluruh benda di kamar mengadu
Tentang kau datang dari jauh
Menyamar serupa kupu-kupu

Namun,
Saat suara kita bertemu
Serta bukti berkumpul seluruh
Mengapa kau tak mau mengaku ?

Haruskah pula kuberimu risau
Atau ?
Mendatangimu serupa kupu-kupu

Agar kau tau
Aku
Tau !

Makassar, 29 September 2007

Minggu, 23 September 2007

Ebnuandie II

Tepat malam ini, sekali lagi
Antara aku dan bulan
Hadir awan memasang badan
Menghalau bulan
Meminjamkan bayanganmu untuk kukenakan

Entah mana-yang-benar?

Semula,
Kemarau berkata :

Jangan jadikan musim hujan
Sebagai saat untuk berjauhan
Sebab awan semakin rajin
Membuat alasan menghalau bulan
Karena iri pada setiap bayangan
yang sempurnakan impian pertemuan
Termasuk aku kau-yang berjauhan

Kini,
Saat kupilih kemarau
Sebagai saat untuk berjauhan

Kemarau malah berkata :

Sesekali biarkan hujan datang
Agar awan punya alasan
Mendatangkan kekasihnya dari lautan
dan menikmati bersama sinar bulan

Ah !
Biar aku menunggu pagi
Karena dalam kemarau begini
Hanya matahari tak ingkar janji
Meminjamkan bayanganmu untuk kukenakan

Makassar, 22 September 2007
Rindu

Seperti jarak
Menyisihkanmu kelak

Agar tak bertemu sajak-
sajakku yang menulismu hingga berkarat

Makassar, 22 September 2007

Jumat, 21 September 2007

ebnuandie

telah sepuluh malam
seekor lebah memberi salam

dibaginya gemerisik padaku
gemerisik-yang-membawa
terbongkarnya
sebuah rahasia tak lagi rahasia
antara alam dan seluruh lebah
tentang perjumpaan aku kau

dibaginya pula sebuah gemerisik
bahwa kini
madu yang mereka hasilkan
menyimpan seluruh percakapan
kita
untuk turut dirasakan orang-orang

serta tak perlu selalu
membuang resah

di akhir salam
lebah itu pula bergumam
kini jarak dan alam
tak menjauhkan aku kau

sebab madu mereka
juga menyimpan kita

Makassar, 21 september 2007

Selasa, 18 September 2007

pertemuan bayang

apa lagi-yang-kau mau?

telah kusisihkan 6 jam setiap hari
kadang pula setiap malam
membangun sebuah jalan
di atas orang lalu lalang
yang mungkin menuju halaman
tempatmu membuat ayunan

sebuah jalan
tepatnya sebuah jembatan
hanya kita yang paham
cara melangkah pada ubin
juga berpegang di temali

apa lagi-yang-kau mau?

sekarang kau harus tau
wajahku menyimpan kerutan
beberapa baris kerutan
yang harus kusimpan
saat kau memanggilku datang
hanya untuk membuang sia rayuan

pahamlah, sayang

segala waktu yang berisi
ketakjumpaan kita
kuisi dengan pertemuan lalu

terus berulang
hingga pertemuan akan datang

Makassar, 18 September 2007

Jumat, 14 September 2007

aku termasuk yang di bawah, bagaimana denganmu?


You are The Star

Hope, expectation, Bright promises.

The Star is one of the great cards of faith, dreams realised

The Star is a card that looks to the future. It does not predict any immediate or powerful change, but it does predict hope and healing. This card suggests clarity of vision, spiritual insight. And, most importantly, that unexpected help will be coming, with water to quench your thirst, with a guiding light to the future. They might say you're a dreamer, but you're not the only one.

What Tarot Card are You?
Take the Test to Find Out.

Aku, Kau

di saat begini
diri seperti
sebagian terberi
sebagian lagi pergi

Makassar, 13 September

Senin, 03 September 2007

hingga kini

bagaimana lagi cara
agar tatapmu
kembali
-terperosok- padaku

Makassar, 2 September 2007

Sabtu, 01 September 2007

sebelum jalan pulang

:
komunitas jalan pulang

jalan beraspal,rumput
ditumbuhi marmer,
jalan kecil, rumah kayu,
empat bangku
kotak bercengkerama,
dua lelaki membeku
menanti

kue donat kering
tawa beriring
satu tepukan di kening

purnama telat datang
danau palsu
danau indah
danau sabtu

kata-kata terhambur,
aku -yang- malang,
berjalan
bersama lelaki-lelaki
ilalang

rumput ditumbuhi marmer
seterusnya jalan beraspal

Ah! itu bulan

Makassar, 31 Agustus 2007

Jumat, 31 Agustus 2007

Negeri

Dan Bulan, Matahari serta Bintang
keluar menyaksikan
parade -arahan- Tuhan

Sementara
saat titik semesta berenang
mungkin juga mengambang

Dalam ruang lama
mungkin pula ramah

Pada titik biru
di situ daratan bermain di air
tak lupa menata lekuk tubuh
melahirkan anak serupa dirinya
membentuk deretan panjang
Bersilang. Kecil, besar, kecil, besar

Ada juga kumpulan menawan
mengingatkan lemak di kiri kanan
perut ayah dan ibu
atau aku

Namun, terpenting
di tubuh daratan juga anak-anaknya
seluruh kutu sibuk menyusun rupa
menghisap tanah, memeras darah
darah sendiri lalu darah lain

Makassar, 30 Agustus 2007

Kamis, 23 Agustus 2007


Tanah, mata dan pintu


Pada tanah retak juga sepi. Kala matahari mondar-balik

setiap hari. Memastikan setiap bayangan tak pergi.
Di belahan Bumi yang terteguk musim panas. Hingga
debu turut merambat bebas. Tak habis-habis ke tiap
paras. Pohon bekerja sesuka hati. Melepas buah
serta rimbunan beban. Segera berganti pakaian
musiman.


Pada sesuatu dihimpun mata. Kala bercermin,
memastikan indahnya. Ada cahaya berkedip-kedip.
Berkumpul. Berbaris tak rapi. Mengundang angin
menabuh genderang. Menari. Berpesta hingga terang

Pada beberapa pintu di tepi.Kala harga diri

melesak tinggi. Memastikan kemarau tak sendiri.
Ada kain kafan putih bertamu. Menghapus semua
bayangan-bimbang. Yang tak tahu cara-curang

Makassar, 13 Agustus 2007


Jelang Terbenam

bola lampu berwarna jeruk tua

menggantung di kejauhan barat cakrawala

Makassar, 14 Agustus 2007

Bersama umurku


Malam senantiasa terbuka

Menyertai yang tak dikenal-langit tak berujung

Dikeningnya segala menyatu pula

Bersama umurku yang mulai merenung

Makassar, 4 Agustus 2007

Dalam tidur dan lamun


Dalam lamun, kau di sampingku
Angin sejuk telah menemukanmu

Lalu kulihat kau ragu
Sejurus kudapatimu dalam danau
Berenang di antara waktu
Menemukan jalanan, rumah, baju
dan perempuan-perempuan batu

Dalam tidur, kau di sampingku
Mimpi telah menemukanmu

Namun, kau terlambat membuka mata

Waktu

Tanpa kita suruh
Menjadikanku salju

Berdiri di antara hantu-hantu
Dalam tatanan serupa ladang tebu
Hanya bisa memberi bahasa baru

Tapi tidak! Tahun telah kembali

Bila kau segera membuka mata
Kita, selamanya, akan berjalan-jalan
Jauh dari jangkauan tidur dan lamun
Membuat rancangan di hari agung

Makassar, 5 Agustus 2007


suatu waktu, menunggu

: tore

kala langit memadamkan baranya
tahukah kau? di pinggir lereng
abu mataku ikut tenggelam bersama senja
menganak mata air
mengairi akar langkah-langkahku
yang menyimpan amanah tanganmu

amblas,
angin mencuri baumu, mengendap-endap
terlebih dahulu memperlihatkan sebuah bingkai
merampas seketika dari jariku
mengurungnya di balik bayangan laut

pasir pun bersekongkol dengan karang
mengikat kakiku dengan gelang
mengundang ombak menghadang pengejaran
bahkan,
menghasut bayanganku tuk melawan

ah! biar aku mengalah
mencari perlindungan pada bunga-bunga putih
-yang-sedari tadi menanti
untuk dapat melihat senyummu

Makassar, Agustus 2006

Selasa, 19 Juni 2007

Menjelang Subuh

seperti kemarin
rambut ini teruntai dingin
bersama mataku hening
dalam hujan, menanti angin
membawa mimpi-mimpi lain
tentangmu yang dulu bening

Makassar, 19 Juni 2007


puisi di atas telah mengalami perubahan
tersadarkan oleh logika seseorang

Jumat, 08 Juni 2007

dua sajak lama yang dipublikasikan, lelah menunggu balasan dari seseorang


Bunga biru: isyarat, kejutan


Jangan tunggu kejutan dariku

Tapi beri jutaan kejutan untukku

Bayangan, kenangan, ingatan dan semua tarian itu

Mereka tak pernah lupa datang mengadu

Tentang rasa yang tak dimiliki

surga, neraka, setan, malaikat

Ataupun langit ketujuh

Karena terbiasa mencuri hari dan malam masa lalu


Jangan tunggu isyarat dariku

Tapi beri isyarat untukku

Mereka dan ibumu, serupa taman bunga biru

Tak pernah lupa mengobrak-abrik jurang jiwaku

Mengambil satu persatu yang tumbuh

Sebab terlahir tanpa kilau, lusuh, peluh, keluh


Karena aku abai akan mata dan suara itu

Mereka dan ibumu, kini juga kau

Serupa taman bunga biru


Aku hilang, lupa ingatan berulang

Berlanjut dan tak ada jalan pulang


Jangan. Jangan kalian ikut sesat dan menggenang

Cukup beri kejutan dan isyarat untukku

Biarkan tarian taman bunga biru mengantarku

pulang!


Makassar, April 2007


Ratapan dasar laut


Adapun dua rusa yang berjalan di aliran lahar

Ataupun gerombolan ikan kecil di atas lumba-lumba

Menara ribuan tahun dan rumput alang di pinggiran

Serta petir laksana ranting-ranting tua menyala


Rindu. Masihkah dapat kulihat lagi ?


Kini Bumi seperti jurang saja

Menjadikanku sebagai alas terbawah

Pun

Palung-palung besi menusuk hampir sekujur tubuh

Mengambil sebagian darah kemilau

Yang sejak berabad mabuk dan luyu


Ayo, katamu, serupa induk merayu

Membawaku larut dalam candu dungu


Waktu tersisa hanya segulung ombak, sekepal air

beserta nyanyian lacur badai musiman:

Oh. Wahai kau para khalifah kelam dan mulia

Menurut seluruh rekan sejawat di atas sana

Jangan tumpahkan segala pecut dalam mata

Beserta seluruh isi aliran darahmu dusta

Di katup tubuh, rambut dan akar

Yang telah lama dianugerahi luka


Para penari berdatangan bagai pasar malam

hanya membawa, meninggalkan kotoran

dari taman lain ke taman karang

berputar menyelam bak gasing kehausan


Permisi, katamu, sembari meludahi wajahku

Tersenyum

Meraba di seluruh pori ku

Semisal tanaman rambat yang tumbuh subur


Sinar kuning yang melingkar labirin

Kapal karam dan serangga lapuk berderai

Kepak liar menjelma tangga putar gaib

Serta aku yang terbiasa mabuk terlilit


Rindu. Masihkah dapat kulihat lagi?

Makassar, April 2007


Senin, 04 Juni 2007

surat untuk dia

: m.aan mansyur

Anggap saja,
kau mengenalku di suatu masa lalu
walau ragu
meski kau memang mengenalku

Tangga kedua telah kumasuki saat itu
Setinggi hidup dalam bulanku

Seperti hari yang haru
Kemarin, tangga pertama menyambutku
Namun tubuhmu mendiamkanku berlarut
tentu

Langkah malu
Sepanjang bulan dan matahari baru
Menyisipkan gelap di setiap saku baju
Menghapus bulir yang menetap kaku
di sudut mata keluhku

Mengenang kau kala berubah guru
Membacakan puisi dan cerita dari waktu
Ujung lidah menebar wangi harum
Menyusupi telinga menyusuri jasadku
Membangunkan darah tulang dagingku
Membagikan mimpi indah dari buku

"Anggap saja, kau mengenalku", katamu
saat itu

Makassar, 2 Juni 2007

Senin, 28 Mei 2007

Sebuah rahasia dan taman

Wajahmu yang lebih indah dari warna, sadarkah?
Setiap lekuknya meraba pikiranku yang telah dihapalnya
Membawanya ke hamparan es yang lebih tinggi dari awan
dan memeluknya erat
Tinggal jasadku yang kau buang di lelehan
Apa selalu seperti ini akhirnya


Semua taman bunga penuh warna mulai memerah
Membuang gelap penutup segala pesona
Sisa yang tidak ingin terlihat dari jaring masa


Betapa kau telah jauh untuk jelaskan semua kini
Perihal aku yang tak kenal diri sendiri
Atau tulisan yang tak lagi berarti


Semua taman bunga penuh warna menyimpan rahasia
Terpasung sambil terus menunggu di dalamnya
Menanti penyelinap memberi berita
Perihal yang tak pernah sampai padanya


Hanya air mata jasadku terus bercerita
Di aliran es
sepanjang terang selebar gelap


Makassar, Maret 2007

Kamis, 10 Mei 2007

Delapan Puluh Enam Malam

Dan kau pun terus berdekam
Bibirmu berdebar-debar demam
Demikian larut,
sesekali deburmu berdendang
Karena langkah yang kini datang
mendekap terbayang

Seterusnya hingga delapan puluh enam malam

Sedang debatmu dengan bayangan
Tentang siapa yang salah berdandan
Atau antara dada dan selangkangan
Bukan!
Bukan pula salah debu bergoyang
Yang membungkus jejaknya di hari petang

Dan kau pun tetap meracau
Lidah menjulur kacau
Demikian khidmat,
terhempas
lalu mengucur

Bersama udara yang terlantar kaku

Lantas percakapan bergumul lumut
Yang terkubur jutaan detik lalu
Dan pernah hinggap di dinding malammu
Tak inginkah kau gali?

Mencecapnya di bibir dan lidah mabukmu
Lantas mengejutkan mata kabung itu

Antara delapan puluh enam malam
Tawa yang membungkus tulisan
saat kau pulang
Jangan kau kurung dalam pangkuan

Pun engkau pasti mengubah haluan

Makassar, 18 April 2007

Dari Bibir Pantai Lemo

Laut terus saja membentak
Membekuk dan terbelalak
Kata-kata sepanjang gelap
seriang kucing galak

Terbayang dermaga berlantai hitam
tepinya terkoyak
Barisan pohon menebar debar
ingin mendekap
Rentang sayap pasir selimuti
seluruh jejak

Oh, awan. Jangan engkau turut berkarat
Kalang kalap mengobrak

Makassar, Desember 2006

Belati

Lorong belati
Di dasarnya menyimpan sejati
Ujungnya menanam mati
Gagangnya kekal menanti
Uluran jemari batin pasi
Yang haus darah pelangi

Langkah belati
Seperti seorang lelaki di malam hari
Bergegas mengganti pengantar mimpi
dengan fasih
Semerdu ancaman berapi

Makassar, Agustus 2006

Perjalanan

Bintang-bintang mengepung bulan separuh
Kisah-kisah berlari kecil menyambut hari
Samudra mendekap bisu daratan
belit berbisik
kadang pasti kadang nanti

Namun,
harta jiwa belum juga kembali
pada gumpalan daging
yang terus bermimpi

Makassar, Desember 2006

Selasa, 17 April 2007

Acara Tahunan

Di hadapannya kini
Terhampar karnaval tahunan
Berhias peluru dan pentungan

Matahari melangkah, tangannya menyambar
Menyentil anak kecil yang sendirian
Diam di tikungan mancung trotoar

Ditendangnya debu penghalang
Menirukan seorang pahlawan pujaan
Kerap ditonton bersama ayah saban malam
Lantas keluhkan perjalanan yang bertambah panjang
Karena kepulan asap ban
Menghadang kendaraan tumpangan
Angkutan kota perumahan

Di belakangnya kini
terpampang festival tahunan
Beralas aspal merindu cucuran darah panggang

Makassar, 2006

Perempuan Kamar

Butuh ribuan kitab menjelaskan
Mengapa yang datang selalu sama

Saat di pucuk seberang, mentari mulai merapat
dan limpahi dirinya kasih sayang biru kehitaman
Mata malam pula sembab dalam penjagaan

Perempuan kamar dalam lorong gelap berani bersumpah
Menyaksikan tak terhitung peran dalam banyak drama
keluar merangkak basah
Menabuh lonceng kehidupan atas maunya

Ada yang berdandan tanpa tahu untuk raut siapa
Tak kurang pertanyaan kapan semua berakhir
Walau lamat-lamat sebelum surut ditelan tanah
Tak sedikit perempuan yang benar-benar terlahir

Makassar, 2006

Senin, 09 April 2007

sajak ini telah lama aku tulis..namun butuh keberanian lebih untuk memperlihatkannya

Sejarah di Sudut Ruangan

Dalam diam,
setumpuk sejarah menjelma di sudut ruangan
Selimut Debu yang tertempel
rajutannya makin tebal
Hanya lembaran-lembaran resah termakan tua
selama ini sudi berkata

Setiap pekan, sejarah lain turut membentang
Lantas menyampaikan kutukan;
Mereka sebentar lagi menjadi kenangan-dalam kuburan
Bila lantai langit tertuang gelap
Semua sejarah berwujud karang
Membeku dan terabaikan

Dimulailah percakapan suatu malam
Sejarah bertubuh tebal paling bawah mengucap
Pernah sempat, kala negeri ini diperjuangkan
Saat manusia dimanja dikeloni sejarah
Seseorang yang entah perempuan atau lelaki
Menjadikan sejarah senjata dalam setiap pilihan

Sejarah di tengah tumpukan menimpali:
Namun kini hanya beberapa bulir manusia berakal
Sisanya menjadikan sejarah pajangan, hiburan
ataupun pembungkus barang dan penutup mayat
Hasil dari yang disebut kebebasan

Jiwaku yang diculik malam itu berujar
Semoga sejarah tidak menjadi abu pembakaran

Makassar, 2006